14 Mei 2018

On Being Terrorized

Belum kelar stres karena rusuh di Mako Brimob, sudah ada lagi kejadian pengeboman gereja di Surabaya :(

This brings so many mixed feelings, and the kind of moment for me to log out from Instagram. But! Then for some reason this morning I logged back in, and immediately regret my decision.

Kemarin gw degdegan buka IG karena terlalu sedih, takut ada yang ngepost foto kejadian/korban (DON'T! Please DON'T. Just DON'T!), tapi diem-diem gw juga degdegan takut menemukan sesuatu yang lain.... yaitu post yang "nyalahin" orang Islam.

Lalu pagi ini gw menemukan post yang terasa seperti itu buat gw.
Makanya gw nyesel log in tadi pagi 😓

Kemarin gw liat Mbak Tya ngepost kurleb isinya "Kali ini gw ga bisa bilang #kamitidaktakut karena ya gw takut" karena pengeboman di luar gereja itu terasa dekat banget sama keseharian keluarganya. Sedih banget gw bacanya :( Lalu gw mikir, iya juga ya, mungkin aja kalo ada orang ngepost #kamitidaktakut itu karena nggak relatable buat dia, bukan hal yang dia pikir akan terjadi ke dia. Pemikiran itu buat gw ya menjadi suatu pemahaman aja, netral. Gw paham rasanya jadi takut karena tahu terrorism act yang terjadi itu dekat sama kehidupan sehari-hari, karena setelah kejadian di Mako Brimob gw pun belum kelar senewennya mikirin kerabat yang kerjanya ngurusin deradikalisasi dan ketemu teroris-teroris 😭 My heart goes out to the bombing victims and their family, and to those who feel the pang of fears. I pray hard for our safety..

Lalu tadi pagi, dengan nada yang terasa sangat berbeda buat gw, isu "nggak-takut-karena-nggak-relatable" diangkat di salah satu post yang gw liat. Kurleb isinya "Gampang aja bilang nggak takut kalo lu nggak pernah dijadiin target sama teroris -- at least nggak di Indonesia" yang merujuk ke orang-orang Islam di Indonesia. Lalu ada yang melanjutkan dengan "Tau nggak rasanya ketakutan? Tau nggak rasanya harus bertaruh nyawa untuk berkunjung ke rumah Tuhan? Tau nggak rasanya harus berbisik-bisik saat membicarakan kepercayaanmu di ruang publik? Tau nggak rasanya terkekang untuk komunikasi sama Tuhan? harusnya bukan #kamitidaktakut tapi #kamiakanbela #kamiakanlindungi". 

Sesunguhnya penemuan-penemuan tadi bikin gw begitu sedih sampe sulit berfungsi pagi ini. Rasanya gw sebagai orang Islam di Indonesia jadi "salah" karena mayoritas. Dianggap bukan bagian dari keutuhan yang sama dengan orang-orang Indonesia yang beragama lain. Dianggap "bebas menjalankan agama" hanya karena mayoritas -- padahal ya seringkali rasanya sama "harus berbisik-bisik" juga mau menjalankan atau membicarakan agama karena takut dilabel radikal, ga toleran, atau apa lah -- belum lagi yang jadi mendapat stigma tertentu karena celananya ngatung, jenggotan, berjilbab lebar, (dan apalagi sejak pengeboman kemarin) atau pake cadar. Udah gitu, karena jumlah orangnya paling banyak di sini pun probabilitas ada orang jahat yang agamanya Islam pun jadi lebih besar, belom lagi yang mengatasnamakan Islam saat berbuat jahat padahal mah yang dilakuin ga sesuai ajaran Islam.


In one way or another, each and every one of us is affected by this act of terrorism.
This terror targets neither you nor me. It targets us.
We're all in this together.

Gw nggak nulis ini untuk ngasih solusi, rekomendasi atau apa lah. Heck I didn't even try to write coherently, I just need to get this out of my system so I can function again. Gw sendiri lagi merasa agak helpless, tapi gw nggak hopeless. Kalo harus mencari apa yang bisa gw (kita?) lakukan untuk sedikit melawan terorisme, yang saat ini kepikir adalah to pause often, think critically, empathize, and talk. Berpikir kritis adalah salah satu hal yang gw yakini bisa melawan terorisme di segala lini. Keterampilan ini membantu mencegah seseorang "dicuci otak", membantu masyarakat menyikapi berita-berita tentang terorisme, dan juga memang menjadi salah satu materi dalam program deradikalisasi teroris. Cara paling sederhana untuk berpikir kritis adalah "tidak langsung menerima sesuatu dan tidak langsung menolak sesuatu". Witholding judgement dan terbuka pada kemungkinan pemahaman lain selain dari yang otomatis muncul di kepala kita. Lalu ini berkaitan erat dengan empati. Berusaha paham pikiran dan perasaan orang lain. Kalo pengalaman gw sih, mencoba paham ini sangat ngademin hati. Pemahaman mendatangkan pemakluman, jadi otomatis menghambat kebencian. Mungkin banget masih ga sependapat, tapi kalo paham latar belakang tuh sulit deh mau benci. Terakhir, talk more. Tanya, diskusi, bahkan (atau terutama?) sama orang yang ga sependapat sama kita. Balik ke mencoba paham tadi. And maybe less scrolling more talking too.


Maybe this is not enough.
But as I'm writing this I'm passing this to you.
What would you do to fight this terror?
 Let's fight this by holding hands and share how we can start fighting terrorism from ourselves.
Because once again, we're all in this together.

PS: Barusan buka IG lagi dan menemukan hashtags #kamitakut TAPI #kamiakanmelawan dan #JanganMauDiaduDomba. I feel hopeful again.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar